Kamis, 22 Desember 2011

Resusitasi Jantung Paru

RESUSITASI JANTUNG PARU


I. DEFINISI
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang bertujuan untuk :
1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi ( insufisiensi respirasi ) melalui pengenalan atau intervensi segera.
2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui resusitasi jantung paru ( CardioPulmonary Resuscitation = CPR ).

Tujuan utama melakukan RJP adalah memberikan oksigen kepada otak, jantung dan organ-organ vital lainnya, sampai datangnya suatu pengobatan medik yang definitive dan tepat ( Advance Life Support = Bantuan Hidup Lanjut ) untuk dapat mengembalikan fungsi jantung dan ventilasi yang normal. Kecepatan dalam melakukan tindakan RJP sangat menentukan, dan merupakan kunci untuk sukses.

II. INDIKASI
Indikasi untuk melakukan tindakan RJP adalah sebagai berikut :
1. Henti nafas
Bila terjadi henti nafas primer, jantung akan meneruskan pemompaan darah untuk beberapa menit, dan cadangan oksigen yang masih terdapat di paru-paru dan darah akan terus mengalir ke otak dan organ-organ vital lainnya. Intervensi dini untuk korban-korban dengan henti nafas atau dengan sumbatan jalan nafas dapat mencegah terjadinya henti jantung.

2. Henti jantung
Bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak mengalami sirkulasi, dan oksigen terdapat pada organ-organ vital akan terpakai habis dalam beberpa detik.
III. PROSEDUR
Skema tindakan Resusitasi Jantung Paru
Korban ditemukan

Don’t be the next victim
Waspada terhadap bahaya lingkungan sekitar korban, pastikan telah aman dan jangan PANIK

Do no harm
Berikan bantuan tanpa mencelakai diri sendiri, korban, maupun orang lain

Kaji kesadaran / respon
( apakah pasien sadar, berespon terhadap suara, berespon terhadap nyeri, atau tidak sadar )


Sadar  Tidak sadar
- Observasi  - Aktifkan EMS ( panggil bantuan )

Airway ( cek jalan nafas )
Head tilt chin lift
Jaw trust
Look, listen, and feel


Nafas ( + ) Nafas ( - )
Recovery Position

Breathing ( berikan bantuan nafas )
o Nafas buatan 2 x / 2”

Circulation ( Cek sirkulasi )
Lakukan palpasi pada nadi karotis 5-10”

Nadi ( + )  Nadi ( + ) Nadi ( - )
Nafas ( + ) Nafas ( - ) Nafas ( - )

-observasi - nafas buatan 2x RJP
-posisi stabil 1 / 2 penolong =
15 kompresi : 2 nafas
( 4 siklus dalam 1 menit )
Evaluasi 1 menit
Cek nafas dan nadi kembali

Nadi ( - )
Nafas ( - )

RJP ulang sampai berhasil atau
Dihentikan bila :
- penolong kelelahan
- bantuan medis lanjutan dating
- tanda kematian irreversiblel
- adanya DNAR


Torsio Testis

TORSIO TESTIS


KONSEP MEDIS

A.  DEFINISI
Torsio Testis adalah terpuntir/melilitnya korda spermatika yang menyebabkan terputusnya aliran darah ke testis (buah zakar) dan struktur jaringan di dalam scrotum (kantong zakar). www.medicastore.com
Keadaan ini diderita oleh 1 diantara 4000 pria yang berumur kurang dari 25 tahun dan paling banyak diderita oleh anak pada masa pubertas sampai umur 20 tahun. Insiden terbesar pada bayi kurang dari satu tahun (jenis torsi ekstra vaginal) dan anak laki-laki pada masa pubertas (penis torsi intravaginal). us.geocities.com

B.  PENYEBAB
Torsio testis terjadi akibat perkembangan abnormal dari korda spermatika atau selaput yang membungkus testis, bisa terjadi pada semua umur.
Torsio testis terjadi setelah testis mengalami trauma, kecelakaan.

C.  GEJALA
- Segera terjadi nyeri hebat.
- Pembengkakan di dalam scrotum.
- Mual , muntah.
- Pusing / pingsan.
- Benjolan di testis.
- Darah di dalam semen.
- Demam.


D.  PATOGENESIS
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan sistem penyangga testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan antara lain : perubahan suhu yang mendadak, ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, trauma yang mengenai scrotum.
Terpelintirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran darah testis sehingga testis mengalami hipoxia, edema testis, dan iskemia, pada akhirnya testis mengalami nekrosis.

E.  DIAGNOSA
Diagnosis di tegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.Daerah testis jika diraba sangat nyeri dan tampak membesar, lebih sering terjadi pada testis kanan, yang terkena letaknya tampak lebih tinggi.
Pemeriksaan penunjang berguna untuk membedakan torsio testis dengan keadaan akut scrotum yang lain dengan memakai stetoscope Doppler, USG Doppler, Sintigrafi testis yang kesemuanya bertujuan menilai aliran darah ke testis.

F.  DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding bertujuan membedakan torsio testis dengan penyakit :
a. Epididimis akut.
b. Hernia scrotalis.
c. Hidrokel.
d. Tumor testis.
e. Edema skrotum yang disebabkan oleh hipoproteinemia, filariasis, idiopatik, dll.

G.  PENGOBATAN
Detorsi Manual
Dorsi manual adalah mengembalikan posisi ke asalnya, yaitu dengan jalan  memutar testis kearah berlawanan dengan arah torsio.
Operasi
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada  arah yang benar dan setelah itu dilakukan penilaian apakah testis yang  mengalami torsio masih viable (hidup) / sudah mengalami nekrosis.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.medicastore.com/mes/detail_pyk.php?idktg=182UID:20051009135247202.53.

http://us.geocities.com/dien_99/zakar_ul.html


Askep Hernia Scrotalis

ASUHAN KEPERAWATAN HERNIA SCROTALIS


A. PENGERTIAN
Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (Sjamsuhidajat, 1997, hal 700).
Hernia adalah keluarnya bagian dalam dari tempat biasanya. Hernia scrotal adalah burut lipat paha pada laki-laki yang turun sampai ke dalam kantung buah zakar (Laksman, 2002, hal 153).
Hernia scrotalis adalah hernia yang melalui cincin inguinalis dan turun ke kanalis pada sisi funikulus spermatikus pada bagian anterior dan lateral, yang dapat mencapai scrotum, hernia ini disebut juga hernia inguinalis indirect (Sachdeva, 1996, hal 235).

B. ETIOLOGI
Hernia scrotalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat (akuistik), hernia dapat dijumpai pada setiap usia, prosentase lebih banyak terjadi pada pria, berbagai faktor penyebab berperan pada pembukaan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantung dan isi hernia, disamping itu disebabkan pula oleh faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar tersebut.
Faktor yang dapat dipandang berperan kausal adalah adanya peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia, jika kantung hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum disebut hernia scrotalis.
Penyebab lain yang memungkinkan terjadinya hernia adalah:
1. Hernia inguinalis indirect, terjadi pada suatu kantong kongenital sisa dan prosesus vaginalis.
2. Kerja otot yang terlalu kuat.
3. Mengangkat beban yang berat.
4. Batuk kronik.
5. Mengejan sewaktu miksi dan defekasi.
6. Peregangan otot abdomen karena meningkatkan tekanan intra abdomen (TIA) seperti: obesitas dan kehamilan.
(Sjamsuhidajat , Jong, 1997, hal 706; Sachdeva, 1996, hal 235).

C. PATOFISIOLOGI
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui kanal tersebut, akan menarik perineum ke daerah scrotum sehingga terjadi penonjolan peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei, pada bayi yang baru lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut, namun dalam beberapa hal  seringkali kanalis ini tidak menutup karena testis kiri turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka, bila kanalis kiri terbuka maka biasanya yang kanan juga terbuka dalam keadaan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan.
Bila prosesus terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi) akan timbul hernia inguinalis lateralis congenital pada orang tua kanalis tersebut telah menutup namun karena merupakan lokus minoris persistence, maka pada keadaan yang menyebabkan tekanan intra abdominal meningkat, kanalis tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateral akuisita keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal adalah kehamilan, batuk kronis, pekerjaan mengangkat beban berat, mengejan pada saat defekasi, miksi misalnya pada hipertropi prostate.
Apabila isi hernia keluar melalui rongga peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior kemudian hernia masuk ke dalam hernia kanalis inguinalis dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus, dan bila berlanjut tonjolan akan sampai ke scrotum yang disebut juga hernia scrotalis (Mansjoer, 2000, hal 314; Sjamsuhidajat, Jong, 1997, hal 704).

D. MANIFESTASI KLINIK
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha, benjolan tersebut bisa mengecil dan menghilang pada saat istirahat dan bila menangis, mengejan mengangkat beban berat atau dalam posisi berdiri dapat timbul kembali, bila terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri, keadaan umum biasanya baik pada inspeksi ditemukan asimetri pada kedua sisi lipat paha, scrotum atau pada labia dalam posisi berdiri dan  berbaring pasien diminta mengejan dan menutup mulut dalam keadaan berdiri palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia, diraba konsistensinya dan dicoba mendorong apakah benjolan dapat di reposisi   dengan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak-anak kadang cincin hernia dapat diraba berupa annulus inguinalis yang melebar.
Pemeriksaan melalui scrotum jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum pubikum, ikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk, bila masa tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka itu adalah hernia inguinalis medialis (Mansjoer, 2000, hal 314).
E. PATHWAYS KEPERAWATAN



     
F. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data yang diperoleh atau dikali tergantung pada tempat terjadinya, beratnya, apakah akut atau kronik, pengaruh terhadap struktur di sekelilingnya dan banyaknya akar syaraf yang terkompresi.
a. Aktivitas/istirahat
Tanda dan gejala: > atropi otot , gangguan dalam berjalan
riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat benda berat, duduk dalam waktu lama.
b. Eliminasi
Gejala: konstipasi, mengalami kesulitan dalam defekasi adanya inkontinensia atau retensi urine.
c. Integritas ego
Tanda dan gejala: Cemas, depresi, menghindar ketakutan akan timbulnya paralysis, ansietas masalah pekerjaan, finansial keluarga.
d. Neuro sensori
Tanda dan gejala: penurunan reflek tendon dalam kelemahan otot hipotonia, nyeri tekan, kesemutan, ketakutan kelemahan dari tangan dan kaki.
e. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala: sikap, perubahan cara berjalan, nyeri seperti tertusuk paku, semakin memburuk dengan batuk, bersin membengkokkan badan.

f. Keamanan
Gejala: adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi.
(Doenges, 1999, hal 320 – 321)
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dan intervensi
a. Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan kompresi syaraf, spasme otot
Kriteria hasil:
1) Melaporkan nyeri hilang dan terkontrol.
2) mengungkapkan metode yang memberi penghilangan.
3) mendemonstrasikan penggunaan intervensi terapeutik.
Intervensi:
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi lamanya serangan, faktor pencetus atau yang memperberat
Rasional : Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap therapy.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut letakkan pasien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi, posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30 derajat pada posisi lateral
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme otot menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan memfasilitasi terjadinya reduksi dari tonjolan discus.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis.
4) Instruksikan pada pasien untuk melakukan teknik relaksasi atau visualisasi
Rasional : memfokuskan perhatian klien membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
5) Kolaborasi dalam pemberian therapy
Rasional : Intervensi cepat dan mempercepat proses penyembuhan.
b. Koping individu tidak efektif (ansietas) sehubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
Kriteria hasil:
1) Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang.
2) Mengkaji situasi terbaru dengan akurat mendemonstrasikan ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi:
1) Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani masalahnya sebelumnya dan sekarang
Rasional : Mengidentifikasi keterampilan untuk mengatasi keadaannya sekarang.
2) berikan informasi yang akurat
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan pad pengetahuannya.
3) berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Kebanyakan pasien mengalami permasalahan yang perlu diungkapkan dan diberi respon.
4) Catat perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit pasien
Rasional : Orang terdekat mungkin secara tidak sadar memungkinkan pasien untuk mempertahankan ketergantungannya.
c. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan nyeri, spasme otot
Kriteria hasil:
Mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individual.
Intervensi:
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur yang kurang hati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.
2) Catat respon emosi atau perilaku pada saat immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan pasien
Rasional : Immobilitas tang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka terhadap rangsang.
3) Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi tang khusus tetapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
4) Ikuti aktivitas atau prosedur dengan periode istirahat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan membentuk kekuatan otot.
5) Berikan atau Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif, pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.
d. resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan muntah, mual, gangguan peristaltic usus
Kriteria hasil:
1) Meningkatkan masukan oral.
2) Menjelaskan faktor penyebab apabila diketahui.
Intervensi:
1) Tentukan kebutuhan kalori harian yang adekuat, kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional : Mencukupi kalori sesuai kebutuhan, memudahkan menentukan intervensi yang sesuai dan mempercepat proses penyembuhan.
2) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat, negosiasikan dengan klien tujuan masukan untuk setiap kali makan dan makan makanan kecil
Rasional : Klien dapat mengontrol masukan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan, yang digunakan sebagai cadangan energi yang untuk beraktivitas.
3) Timbang berat badan dan pantau hasil laboratorium
Rasional : Dapat digunakan untuk memudahkan melakukan intervensi yang akurat dan sesuai dengan kondisi klien.
4) Anjukan klien untuk menjaga kebersihan mulut secara teratur pantau klien dalam melakukan personal hygiene.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan memberi kenyamanan dalam mengkonsumsi makanan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi.
5) Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau menghilangkan ketidaknyamanan yang dapat menyebabkan mual, muntah, dan mengurangi nafsu makan
Rasional : Menentukan intervensi yang sesuai meningkatkan masukan oral.
e. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah pembentukan hematoma
Kriteria hasil:
Melaporkan atau mendemonstrasikan situasi normal.
intervensi:
1) Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologist secara periodik
Rasional : Penurunan atau perubahan mungkin mencerminkan resolusi edema, inflamasi sekunder.
2) Pertahankan pasien dalam posisi terlentang sempurna selama beberapa jam
Rasional : Penekanan pada daerah operasi dapat menurunkan resiko hematoma.
3) Pantau tanda-tanda vital catat kehangatan, pengisian kapiler
Rasional : Perubahan kecepatan nadi mencerminkan hipovolemi akibat kehilangan darah, pembatasan pemasukan oral mual, muntah.
4) Kolaborasi dalam pemberian cairan atau darah sesuai indikasi
Rasional : Terapi cairan pengganti tergantung pada derajat hipovolemi.
(Doengoes, 1999; Carpenito, 1997)

Askep Hernia

ASUHAN KEPERAWATAN HERNIA

A. PENGERTIAN
Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (Sjamsuhidajat, 1997, hal 700).
Hernia adalah penonjolan serat atau ruas organ atau jaringan melalui lubang yang abnormal (Dorlan, 1994,hal 842)
Hernia adalah keluarnya bagian dalam dari tempat biasanya. Hernia scrotal adalah burut lipat pada laki-laki yang turun sampai ke dalam kantung buah zakar (Laksman, 2002, hal 153).
Hernia scrotalis merupakan hernia inguinalis lateralis yang mencapai scrotum. ( Sjamsuhidajat, 1997, hal 717 )
Post adalah awalan yang menyatakan setelah atau di belakang. (Dorlan, 1994,hal 1477)
Operasi merupakan pembedahan, setiap tindakan yang dikerjakan oleh ahli bedah, khususnya tindakan yang memakai alat-alat. (Ramali dan Pamoentjak, 2000, hal 244)
Dextra merupakan istilah yang menyatakan sesuatu yang berada disebelah kanan dari dua struktur yang serupa atau yang berada disebelah kanan tubuh. (Dorlan, 1994,hal 517)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa post operasi hernia scrotalis dextra adalah hernia inguinalis lateralis dimana penonjolan serat atau ruas organ atau jaringan yang melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan mencapai scrotum bagian kanan dan telah dilakukan tindakan pembedahan oleh ahli bedah.

B. KLASIFIKASI
Menurut Sachdeva ( 1996, hal 232-234) menklasifikasikan hernia sebagai berikut ;
1. Hernia Reponiblis
Hernia yang dapat masuk kembali ketika penderita tidur terlentang atau dapat dimasukkan oleh penderita atau ahli bedah.
2. Hernia Ireponiblis
Apabila isinya tidak dapat dikembalikan ke dalam abdomen dan tidak tampak adanya komplikasi.
3. Hernia Obstruksi
Merupakan hernia ireponiblis yang berisi usus dimana lumennya mengalami onstruksi dari luar atau adanya gangguan suplai darah dari usus.
4. Hernia Strangulasi
Hernia akan mengalami strangulasi bila suplai darah terhadap isinya sangat terganggu yang dapat mengakibatkan gangren.
Adapun tindakan yang digunakan untuk mengatasi hernia ada 2 macam yaitu;
1. Tindakan konservatif
Yaitu tindakan dengan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk mempertahankan isi hernia.
2. Tindakan definitive
Tindakan definitive untuk mengatasi hernia berupa operasi yang dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal. Dengan melakukan insisi pada garis linear di atas kanalis inguinalis yaitu 1 inci diatas dan sejajar terhadap 2/3  medial ligamentum inguinalis. Adapun prinsip dasar operasi hernia terdiri dari Herniotomi dan Herniorapi.
a. Herniotomi
Merupakan operasi pemotongan untuk memperbaiki hernia.
b. Herniorapi
Herniorapi yaitu dengan melakukan perbaikan pada dinding posterior tanpa menggunakan bahan asesoris. Apabila dalam melakukan perbaikan dinding posterior menggunakan bahan asesoris maka disebut dengan Hernioplasti.

C. ETIOLOGI
Hernia scrotalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat (akuistik), hernia dapat dijumpai pada setiap usia, prosentase lebih banyak terjadi pada pria, berbagai faktor penyebab berperan pada pembukaan pintu masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantung dan isi hernia, disamping itu disebabkan pula oleh faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar tersebut.
Faktor yang dapat dipandang berperan kausal adalah adanya peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan otot dinding perut karena usia, jika kantung hernia inguinalis lateralis mencapai scrotum disebut hernia scrotalis.(Sjamsuhidajat , Jong, 1997, hal 706)
Penyebab lain yang memungkinkan terjadinya hernia adalah:
1. Hernia inguinalis indirect, terjadi pada suatu kantong kongenital sisa dan prosesus vaginalis.
2. Kerja otot yang terlalu kuat.
3. Mengangkat beban yang berat.
4. Batuk kronik.
5. Mengejan sewaktu miksi dan defekasi.
6. Peregangan otot abdomen karena meningkatkan tekanan intra abdomen (TIA) seperti: obesitas dan kehamilan.
Indikasi pelaksanaan operasi adalah pada semua jenis hernia, hal ini dikarenakan penggunaan tindakan konservatif hanya terbatas pada hernia umbilikalis pada anak sebelum usia dua tahun dan pada hernia ventralis. Tindakan operasi dilakukan pada hernia yang telah mengalami stadium lanjut yaitu;
1. Mengisi kantong scrotum
2. Dapat menimbulkan nyeri epigastrik karena turunnya mesentrium.
3. Kanalis inguinalis luas pada hernia tipe ireponibilis.
Pada hernia reponibilis dan ireponibilis dilakukan tindakan bedah karena ditakutkan terjadinya komplikasi, sedangkan bila telah terjadi strangulasi tindakan bedah harus dilakukan secepat mungkin sebelum terjadinya nekrosis usus.
(Sachdeva, 1996, hal 235 – 236 ; Mansjoer, 2000, hal 315)

D. PATOFISIOLOGI
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui kanal tersebut, akan menarik perineum ke daerah scrotum sehingga terjadi penonjolan peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei, pada bayi yang baru lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut, namun dalam beberapa hal  seringkali kanalis ini tidak menutup karena testis kiri turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka, bila kanalis kiri terbuka maka biasanya yang kanan juga terbuka dalam keadaan normal, kanalis yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan.
Bila prosesus terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi) akan timbul hernia inguinalis lateralis congenital. Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup namun karena merupakan lokus minoris persistence, maka pada keadaan yang menyebabkan tekanan intra abdominal meningkat, kanalis tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateral akuisita. Keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal adalah kehamilan, batuk kronis, pekerjaan mengangkat beban berat, mengejan pada saat defekasi, miksi misalnya pada hipertropi prostate.
Apabila isi hernia keluar melalui rongga peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior kemudian hernia masuk ke dalam hernia kanalis inguinalis dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus, dan bila berlanjut tonjolan akan sampai ke scrotum yang disebut juga hernia scrotalis.
Tindakan bedah pada hernia dilakukan dengan anestesi general atau spinal sehingga akan mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yang berpengaruh pada tingkat kesadran, depresi pada SSP juga mengakibatkan reflek batuk menghilang. Selain itu pengaruh anestesi juga mengakibatkan produksi sekret trakeobronkial meningkat sehingga jalan nafas terganggu, serta mengakibatkan peristaltik usus menurun yang berakibat pada mual dan muntah, sehingga beresiko terjadi aspirasi yang akan menyumbat jalan nafas.
Prosedur bedah akan mengakibatkan hilang cairan, hal ini karena kehilangan darah dan kehilangan cairan yang tidak terasa melalui paru-paru dan kulit. Insisi bedah mengakibatkan pertahanan primer tubuh tidak adekuat (kulit rusak, trauma jaringan, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh), luka bedah sendiri juga merupakan jalan masuk bagi organisme patogen sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi infeksi.
Rasa nyeri timbul hampir pada semua jenis operasi, karena terjadi torehan, tarikan, manipulasi jaringan dan organ. Dapat juga terjadi karena kompresi / stimulasi ujung syaraf oleh bahan kimia yang dilepas pada saat operasiatau karena ischemi jaringan akibat gangguan suplai darah ke salah satu bagian, seperti karena tekanan, spasmus otot atau hematoma.
(Mansjoer, 2000, hal 314 ; Sjamsuhidajat,1997, hal 704 ; Long,1996, hal 55 – 82).

E. MANIFESTASI KLINIK
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha, benjolan tersebut bisa mengecil dan menghilang pada saat istirahat dan bila menangis, mengejan, mengangkat beban berat atau dalam posisi berdiri dapat timbul kembali, bila terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri, keadaan umum biasanya baik pada inspeksi ditemukan asimetri pada kedua sisi lipat paha, scrotum atau pada labia dalam posisi berdiri dan  berbaring pasien diminta mengejan dan menutup mulut dalam keadaan berdiri palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia, diraba konsistensinya dan coba didorong apakah benjolan dapat di reposisi dengan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak-anak, kadang cincin hernia dapat diraba berupa annulus inguinalis yang melebar.
Pemeriksaan melalui scrotum, jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum pubikum, ikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk, bila masa tersebut menyentuh ujung jari maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka itu adalah hernia inguinalis medialis (Mansjoer, 2000, hal 314 ; Kusala, 2007, http://www.kalbe.co.id/files)
Pada umumnya terapi operatif merupakan terapi satu-satunya yang rasional. Beberapa masalah yang sering terjadi pada fase post operasi antara lain; kesadaran menurun, sumbatan saluran nafas, hipoventilasi, hipotensi , aritmi cardiak, shock, nyeri, distensi kandung kencing, cemas, aspirasi isi lambung.
Tindakan operatif dilakukan dengan melakukan insisi pada tubuh sehingga tubuh memerlukan waktu untuk penyembuhan luka. Luka bedah karena dilakukan dengan disertai teknik asepsis pada umumnya penyembuhannya lancar dan cepat.
Ada empat fase penyembuhan luka; fase I penyembuhan luka, lekosit mencerna bakteri dan jaringan rusak. Fibrin tertumpuk pada gumpalan yang mengisi luka dan pembuluh darah tumbuh pada luka dari benang fibrin sebagai kerangka. Luka kekuatannya rendah tapi luka yang dijahit akan menahan jahitan dengan baik. Pasien akan terlihat dan merasa sakit pada fase ini yang berlangsung selama 3 (tiga) hari.
Fase II berlangsung 3 – 14 hari setelah pembedahan. Lekosit mulai menghilang, semua lapisan epitel mulai beregenerasi selengkapnya dalam 1 (satu) minggu. Jaringan baru memiliki sangat banyak jaringan vaskuler, jaringan ikat berwarna kemerah-merahan karena banyak pembuluh darah dan mudah terjadi perdarahan, pasien akan terlihat lebih baik. Tumpukan kolagen serabut protein putih akan menunjang luka dengan baik dalam 6 – 7 hari. Jadi jahitan diangkat pada waktu ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah.
Pada fase III kolagen terus bertumpuk. Hal ini akan menekan pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang luas. Pada fase ini yang kira-kira berlangsung dari minggu ke dua sampai minggu ke enam post operasi, pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang terkena.
Fase terakhir, fase ke IV berlangsung beberapa bulan post operasi. Pasien akan mengeluh gatal diseputar luka. Kolagen terus menimbun pada waktu ini, luka menciut dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur.
(Long,1996, hal 70 – 86)

F. KOMPLIKASI
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus sederhana hingga perforasi (lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses local, fistel atau peritonitis.
Sedangkan komplikasi operasi hernia dapat berupa cidera vena femoralis, nervus ilioinguinalis, nervus iliofemoralis, duktus deferens, atau buli-buli bila masuk pada hernia geser. Nervus ilioinguinalis harus dipertahankan sejak dipisahkan karena jika tidak, maka dapat timbul nyeri pada jaringan parut setelah jahitan dibuka.
Komplikasi dini setelah operasi dapat pula terjadi, seperti hematoma, infeksi luka, bendungan vena, fistel urine atau feses, dan residif. Komplikasi lama merupakan atrofi testis karena lesi arteri spermatika atau bendungan pleksus pampiniformis, dan yang paling penting, terjadinya residif (kekambuhan). Insiden dari residif begantung pada umur pasien, letak hernia, teknik yang digunakan dalam pembedahan dan cara melakukannya.
(Sjamsuhidajat, 1997, hal 718-719)

G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksasaan darah
a. Lekosit ; peningkatan jumlah lekosit mengindikasikan adanya infeksi.
b. Hemoglobin ; Hemoglobin yang rendah dapat mengarah pada anemia/kehilangan darah.
c. Hematokrit ; peningkatan hematokrit mengindikasikan dehidrasi
d. Waktu koagulasi ; Mungkin diperpanjang, mempengaruhi hemostasis intraoperasi/pascaoperasi.
2. Urinalisis
BUN, Creatinin, munculnya SDM atau bakteri mengindikasikan infeksi.
3. GDA
Mengevaluasi status pernafasan terakhir.
4. EKG
Untuk mengetahui kondisi jantung.










H. PATHWAYS KEPERAWATAN



   







I. FOKUS KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Status Respiratori
Kebebasan saluran nafas, kedalaman bernafas, kecepatan, sifatnya. Bunyi nafas : ada dan sifatnya.
b. Status Sirkulatori
Nadi, tekanan darah, suhu, warna kulit, pengisian kapiler.
c. Status Neurologis
Tingkat kesadaran, penurunan tingkat kesadaran merupakan gejala shock dan harus segera dilaporkan kepada ahli bedah dan disertai gejala lain yang jelas.
d. Balutan
Keadaan balutan, terdapat drain, terdapat selang yang harus disambung dengan system drainase.
e. Kenyamanan
Terdapat nyeri, mual, muntah, sikap tidur yang nyaman dan memperlancar ventilasi.
f. Keamanan
Terdapat pengaman pada tempat tidur, alergi atau sensitive terhadap obat, makanan, plester, larutan. Munculnya proses infeksi ; demam.
(Long, 1996, hal 60)

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dan intervensi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan sekresi trakeobronkial sekunder terhadap efek anestesi; batuk tidak efektif sekunder terhadap depresi SSP atau nyeri dan splinting otot.
Kriteria Hasil :
1) Jalan napas pasien bersih, ditandai dengan bunyi napas normal pada auskultasi.
2) RR : 12 – 20 X / menit dengan kedalaman dan pola normal.
Intervensi :
1) Pertahankan jalan nafas pasien dengan meletakkan pasien pada posisi yang sesuai.
Rasional : Mencegah obstruksi jalan nafas. Elevasi kepala dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan tekanan pada diafragma.
2) Observasi frekwensi, kedalaman pernafasan dan pemakaian otot bantu pernafasan.
Rasional : Dliakukan untuk memastikan efektivitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat segera dilakukan.
3) Observasi pengembalian fungsi otot, terutama otot-otot pernafasan .
Rasional : Setelah pemberian obat – obat relaksasi otot selama masa intraoperatif, pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi pada diafragma, otot interkostal, yang akan diikuti dengan relaksasi kelompok otot–otot utama seperti leher, bahu, dan otot–otot abdominal, selanjutnya diikuti oleh otot – otot berukuran sedang seperti lidah, faring, otot – otot ekstensi dan fleksi dan diakhiri oleh mata, mulut wajah dan jari – jari tangan.
4) Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan
Rasional : Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam tenggorokan atau trakea.
5) Kolaborasi pemberian tambahan oksigen sesuai kebutuhan.
Rasional : dilakukan untuk meningkatkan pengambilan oksigen yang akan diikat oleh Hb.

b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan kompresi syaraf, prosedur bedah.
Kriteria hasil:
1) Melaporkan nyeri hilang dan terkontrol.
2) mengungkapkan metode yang memberi penghilangan.
3) mendemonstrasikan penggunaan intervensi terapeutik.
Intervensi:
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi lamanya serangan, faktor pencetus atau yang memperberat
Rasional : Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapy.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut letakkan pasien pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi atau posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30 derajat.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme otot menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu.
3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan.
4) Instruksikan pada pasien untuk melakukan teknik relaksasi atau visualisasi
Rasional : Memfokuskan perhatian klien membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
5) Kolaborasi dalam pemberian therapy
Rasional : Intervensi cepat dan mempercepat proses penyembuhan.

c. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah pembentukan hematoma.
Kriteria hasil:
Melaporkan atau mendemonstrasikan situasi normal.

intervensi:
1) Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologist secara periodik
Rasional : Penurunan atau perubahan mungkin mencerminkan resolusi edema, inflamasi sekunder.
2) Pertahankan pasien dalam posisi terlentang sempurna selama beberapa jam
Rasional : Penekanan pada daerah operasi dapat menurunkan resiko hematoma.
3) Pantau tanda-tanda vital, catat kehangatan, pengisian kapiler
Rasional : Perubahan kecepatan nadi mencerminkan hipovolemi akibat kehilangan darah, pembatasan pemasukan oral, mual, muntah.
4) Kolaborasi dalam pemberian cairan atau darah sesuai indikasi
Rasional : Terapi cairan pengganti tergantung pada derajat hipovolemi.
d. Koping individu tidak efektif (ansietas) sehubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
Kriteria hasil:
1) Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang.
2) Mengkaji situasi terbaru dengan akurat mendemonstrasikan ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi:
1) Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani masalahnya sebelumnya dan sekarang
Rasional : Mengidentifikasi keterampilan untuk mengatasi keadaannya sekarang.
2) berikan informasi yang akurat
Rasional : Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan pada pengetahuannya.
3) berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
Rasional : Kebanyakan pasien mengalami permasalahan yang perlu diungkapkan dan diberi respon.
4) Catat perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit pasien
Rasional : Orang terdekat mungkin secara tidak sadar memungkinkan pasien untuk mempertahankan ketergantungannya.
e. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan nyeri, spasme otot.
Kriteria hasil:
Mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individual.
Intervensi:
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena, jenis prosedur yang kurang hati-hati akan meningkatkan kerusakan.
2) Catat respon emosi atau perilaku pada saat immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan pasien
Rasional : Immobilitas yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka terhadap rangsang.
3) Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi dan berkembang sesuai dengan toleransi.
4) Ikuti aktivitas atau prosedur dengan periode istirahat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan membentuk kekuatan otot.
5) Berikan atau Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif, pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.

f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat ; prosedur infasif, insisi bedah.
Kriteria Hasil :
Meningkatkan waktu penyembuhan dengan tepat, bebas dari eritema dan tidak demam.
Intervensi :
1) Tekankan teknik mencuci tangan yang baik
Rasional : Menurunkan resiko penyebaran bakteri.
2) Pertahankan teknik aseptik pada penggantian balutan dan prosedur infasif.
Rasional : Menurunkan resiko masuknya bakteri.
3) Monitor tanda-tanda vital, insist dan balutan, catat karakteristik luka, adanya eritema.
Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi.
4) Ganti balutan sesuai indikasi.
Rasional: Balutan kotor memberikan media bagi pertumbuhan bakteri.
5) Kolaborasi pemberian antibiotik.
Rasional : Untuk menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya), untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya.

g. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan secara oral (prosedur medis/adanya rasa mual); kehilangan darah selama pembedahan.
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan keseimbangan cairan yang adekuat, tanda – tanda vital stabil, turgor normal, mukosa lembab, pengeluaran urine sesuai.
Intervensi :
1) Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Dokumentasi yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.

2) Periksa pembalut terhadap terjadinya perdarahan, kaji luka untuk terjadinya pembengkakan.
Rasional : Perdarahan yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia.
3) Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : Kulit yang dingin dan lembab, denyut yang lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk penggantian cairan tambahan.
4) Kolaborasi pemberian cairan sesuai petunjuk, tingkatkan kecepatan IV jika diperlukan.
Rasional : Menggantikan kehilangna cairan.
5) Pantau hasil laboratorium, misalnya Hb, Ht.
Rasional : Indikator hidrasi/volume sirkulasi.
h. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan muntah, mual, gangguan peristaltik usus
Kriteria hasil:
1) Meningkatkan masukan oral.
2) Menjelaskan faktor penyebab apabila diketahui.
Intervensi:
1) Tentukan kebutuhan kalori harian yang adekuat, kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional : Mencukupi kalori sesuai kebutuhan, memudahkan menentukan intervensi yang sesuai dan mempercepat proses penyembuhan.
2) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat, negosiasikan dengan klien tujuan masukan untuk setiap kali makan dan makan makanan kecil
Rasional : Pasien dapat mengontrol masukan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan, yang digunakan sebagai cadangan energi yang untuk beraktivitas.
3) Timbang berat badan dan pantau hasil laboratorium
Rasional : Dapat digunakan untuk memudahkan melakukan intervensi yang akurat dan sesuai dengan kondisi klien.
4) Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan mulut secara teratur pantau pasien dalam melakukan personal hygiene.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan memberi kenyamanan dalam mengkonsumsi makanan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi.
5) Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau menghilangkan ketidaknyamanan yang dapat menyebabkan mual, muntah, dan mengurangi nafsu makan
Rasional : Menentukan intervensi yang sesuai meningkatkan masukan oral.

i. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil:
Menuturkan pemahaman kondisi, efek prosedur dan pengobatan, memulai perubahan gaya hidup.
Intervensi:
1) Kaji ulang pemahaman pasien tentang diagnosis, prosedur bedah, rutinitas praoperasi dan regimen pasca operasi.
Rasional : Beberapa orang merasakan informasi yang lengkap sangat membantu; sedang yang lain lebih menyukai penjelasan yang singkat dan sederhana.
2) Tinjau ulang dan minta orang terdekat untuk menunjukan perawatan luka atau balutan jika diindikasikan.
Rasional : Meningkatkan kompetensi perawatan diri dan meningkatkan kemandirian.
3) Tinjau ulang penghindaran faktor-faktor resiko, misalnya pemajanan pada lingkungan.
Rasional : Mengurangi potensial infeksi yang diperoleh.
4) Sebelum pasien dipulangkan, ajarkan tindakan pencegahan terhadap aktivitas, istirahat maksimal, diit yang haurs dijalani.
Rasional : Informasi yang cukup memberikan pemahaman yang adekuat bagi pasien untuk mendukung proses pengobatan.
(Doengoes, 2000; Swearingen,2001)




























Askep Gigantisme

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GEGANTISME


A. Pengertian
Gegantisme adalah suatu keadaan yang abnormal pada anak yang disebabkan oleh produksi GH yang berlebihan.
B. Etiologi
Tumor hipofise : adenoma eosinofilik
C. Manifestasi klinik
Lingkar kepala bertambah
Hidung lebar
Lidah membesar
Wajah kasar
Mandibula tumbuh berlebihan
Gigi menjadi terpisah-pisah
Jari dan ibu jari tumbuh menebal
Kifosis
Kelelehan dan kelemahan gejala awal
Hipogonadisme
Keterlambatan maturasi seksual
Kehilangan penglihatan pada pemeriksaan lapang pandang secara seksama
D. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
- Kadar GH berlebihan
- Tes toleransi glukosa : hiperglikemia
- Kadar somatomidin meningkat
CT. Scan
MRI
E.  Penatalaksanaan
Intervensi bedah
Radiasi konvensional / sinar proton energi tinggi



Pengkajian
Riwayat penyakit dahulu ?
Riwayat penyakit sekarang ?
Riwayat penyakit keluarga ?
Riwayat tumbuh kembang ?
Apakah klien mengalami penambahan pada lingkar kepala
Apakah klien mengalami pembesaran hidung ?
Apakah klien mengalami pembesaran hidung ?
Apakah mandibula tumbuh berlebihan ?
Apakah klien mengalami gigi yang terpisah-pisah
Apakah jari dan ibu jari tumbuh menebal ?
Apakah klien mengalami kifosis ?
Apakah klien mengalami kelelahan dan kelemahan pada gejala awal ?
Apakah klien mengalami hipogonadisme ?
Apakah kien mengalami keterlambatan maturasi seksual ?
Apakah terjadi tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial ?
Apakah klien mengalami kehilangan penglihatan pada pemeriksaan lapang pandang ?
Diagnosa keperawatan
1. Gangguan bodi image b.d perubahan struktur tubuh
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan metabolisme, lidah membesar, mandibula tumbuh berlebih, gigi menjadi terpisah-pisah.
3. Perubahan proses keluarga b.d keluarga dengan gegantisme
4. Kelelahan b.d hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan energi

Askep Elektrokardiografi

ASUHAN KEPERAWATAN ELEKTROKARDIOGRAFI


I. DEFINISI
Electrocardiography adalah ilmu yang mempelajari aktivitas listrik jantung. Sedangkan electrocardiogram adalah grafik yang menggambarkan rekaman listrik jantung.
Kegiatan listrik jantung sering di jantung sering dihubungkan dengan perjalanan impulsdari jantung yang dihantarkan menuju jaringan tubuh dan dapat diukur pada permukaan tubuh dengan menggunakan suatu galvanometer ( suatu mesin yang digunakan untuk mengukur arus listrik ). Galvanometer digunakan untuk mendeteksi dan meningkatkan aktivitas listrik yang relative kecil dari jantung dan kemudian dapat digambarkan pada kertas yang disebut sebagai elektrokardiogram (EKG).
EKG dapat mencatat aktivitas listrik miokardium dari 12 posisi yang berbeda ; 3 posisi standar, 3 posisi unipolar, dan 6 posisi dada. Informasi ini sangat berguna dalam mendiagnosa penyakit-penyakit kardiovaskuler seperti angina pectoris atau miokardial infark.

Sistem Konduksi Jantung
Jantung memiliki system dimana selnya mempunyai kemampuan untuk membangkitkan dan menghantarkan impuls listrik secara spontan. Setiap denyut jantung normal merupakan hasil pembangkitan impuls listrik di nodus Sino-Atrial yang mengatur ferkuensi dan irama denyutan jantung. Pola hantaran normal jantung dikenal sebagai irama sinus ( sinus rhythm ).
Impuls jantung akan meninggalkan SA Node dan berpencar menuju otot atrium melalui jalur intra atrium, sehingga mengakibatkan kontraksi kedua atrium. Impuls kemudian menjalar ke nodus Atrio-Ventrikuler yang  memberikan waktu kontraksi kedua atrium dan memastikan pengisian darah di ventrikel. Impuls kemudian dihantarkan ke bundle his dan diteruskan menuju serabut purkinje. Peristiwa ini tidak lebih dari beberapa detik dan mengakibatkan kontraksi ventrikel. Hantaran impuls sepanjang serabut serabut khusus, 5 kali lebih cepat dibandingkan pada serabut otot jantung tidak khusus. Transmisi impuls yang cepat ini merangsang sel otot melalui kedua ventrikel kontraksi secara terus-menerus (simultan).
Jalur hantaran listrik di bagian lain juga memiliki kemampuan membangkitkan impuls, tetapi impuls ini terjadi hanya pada keadaan abnormal. Frekuensi denyutan alami pada jalur hantaran pacemaker, yaitu :
SA Node 60 – 100 kali/menit
AV Node 40 – 60 kali /menit
Sistem purkinje 25 - 40 kali /menit

II. INDIKASI
Digunakan untuk untuk mendapatkan informasi kegiatan listrik pada kondisi – kondisi sebagai berikut :
Disritmia jantung
Iskemia miokard ( angina pectoris )
Lokasi dan perluasan daerah infark miokard
Hipertrofi jantung
Ketidakseimbangan elektrolit
Keefektifan obat-obat jantung

III. PROSEDUR
Alat-alat yang dibutuhkan :
Mesin Elektrokardiogram
Elektroda ekstremitas
Elektroda isap ( suction electrode )
Kawat penghubung klien dan kawat penghubung tanah / grounding
Kapas dan alcohol
Elektroda jelly


Persiapan Klien dan Peralatan
Perekaman yang dilakukan adalah 12 sadapan lengkap yaitu ; standar leads, unipolar lead, dan precordial leads. Kabel yang digunakan ada 2 macam yaitu 4 kabel terpisah untuk ekstremitas dan 6 kabel untuk sadapan prekordial.

Persiapan Klien
1. Anjurkan klien untuk berbaring dengan tenag dan daerah dada dibuka. Berikan penjelasan mengenai tujuan dan jalannya prosedur pemeriksaan. Kepala diberikan bantal dan perhiasan yang dipakai dilepaskan.
2. Bersihkan permukaan kulit kedua pergelangan tangan dan kaki dengan menggunakan kapas beralkohol.
3. Berikan keempat elektroda ekstremitas dengan EKG jelly secukupnya dan pasang elektroda tersebut di tempat yang telah dibersihkan.
4. Hubungkan kabel penghubung klien dengan elketroda sebagai berikut :
Kabel RA (right arm) merah dihubungkan dengan elektroda tangan kanan
Kabel LA (left arm) kuning dihubungkan dengan elketroda tangan kiri
Kabel LL (left leg) hijau dihubungkan dengan elektroda di kaki kiri
Kabel RL (right leg) hitam dihubungkan dengan elketroda di kaki kanan.
5. Bersihkan permukaan kulit dada dengan kapas alcohol, berikan jelly juga, pasang elektroda di tempat yang telah dibersihkan.
6. Hubungkan kabel penghubung klien dengan elektroda sebagai berikut :
C1 : ICS 4 garis sternal kanan, dengan kabel merah
C2 : ICS 4 gari strenal kiri, dengan kabel kuning
C3 : pertengahan garis lurus antara C1 dan C2, warna hijau
C4 : ICS 5 kiri di garis midklavikula
C5 : titik potong garis aksila kiri dengan garis mendatar C4
C6 : titik potong garis aksila kiri dengan garis mendatar dari C4 dan C5.
C1 dan C2 merupakan titik untuk mendengarkan bunyi jantung I dan II



Persiapan Peralatan
7. Bersihkan permukaan elektrodan dengan kapas alcohol/tissue
8. Nyalakan power on / off alat EKG, hubungkan kabel klien dengan mesin.
9. Atur kecepatan alat dan pneraan kepekaan alat.
10. Tekan star-stop untuk memulai dan mengakhiri perekaman
11. Dengan menekan tombol yang sesuai, catat berturut-turut :
Hantaran satndar Einthoven : I, II, III
Hantaran “Augmented extremity leads: : aVL, aVR, dan aVF.
Hantaran “Wilson perkordial leads” : V1, V2, V3, V4, V5, dan V6.
Tiap hantaran dicatat untuk 3-5 siklus.
12. Tuliskan identitas klien di pojok kiri atas, meliputi : nama, usia, jenis kelamin, jam pemeriksaan.
13. Setelah selesai pencatatan, rapikan dan bersihkan alat seperti semula
14. Tempelkan hasil perekaman serapi mungkin di lembar lampiran.


DAFTAR PUSTAKA
Hudak & Gallo.(1994). Critical care nursing : a holistic approach.
(7th edition). Lippincott : Philadelphia..

Muhiman. (2001). Penatalaksanaan pasien di intensive care unit. Jakarta :
BP FKUI.






IV. ANALISA ELEKTROKARDIOGRAM




Nama:……………Kelamin: L/P Umur:……… TB :………..cm
BB :…….Kg Tekanan darah :……….mmHg
Catatn klinik dan pengobatan :………………………………………….
a. Frekuensi denyut jantung;……………..x/menit N ( 60 – 100 x/mnt)
b. Irama jantung :…………………….. N ( sinus rhythm )
c. Gelombang P :…………………….. N (
d. Interval P-R :………………….detik N ( 0,12 – 0,20 detik )
e. Kompleks QRS :
Interval ;………………….detik N ( 0,06 – 0,12 )
VAT :…………………. detik
Koreksi interval QT :…………………..detik
f. Gelombang T :………………….. N (positif di I,II,V3-V6)
g. Gelombang U :…………………. N ( defleksi positif )

Kesimpulan : 1. EKG normal
2. EKG dalam batas normal
3. EKG pada “borderline”
4. EKG pathologis dengan tanda-tanda:……………….
5. EKG pathologis yang non spesifik

Anjuran : * Mengulangi pemeriksaan, tanggal :……………………
Ulangi pemeriksaan EKG secara berkala tiap :………..
Lain-lain………………………….
Pemeriksa

(……………………….)






Photobucket