Senin, 09 Januari 2012

Bedah Jantung

BEDAH JANTUNG


Pengertian
Bedah jantung adalah : Usaha atau operasi yang dikerjakan untuk melakukan koreksi kelainan anatomi atau fungsi jantung.

Operasi Jantung Dibagi Atas :

1. Operasi jantung terbuka, yaitu operasi yang dijalankan dengan membuka rongga jantung dengan memakai bantuan mesin jantung paru (mesin extra corporal).
2. Operasi jantung tertutup, yaitu setiap operasi yang dijalankan tanpa membuka rongga jantung misalnya ligasi PDA, Shunting aortopulmonal.

Tujuan Operasi Jantung

Operasi jantung dikerjakan dengan tujuan baermacam-macam antara lain :
1. Koreksi total dari kelainan anatomi yang ada, misalnya penutupan ASD, Pateh VSD, Koreksi Tetralogi Fallot, Koreksi Transposition Of Great Arteri (TGA). Umumnya tindakan ini dikerjakan terutama pada anak-anak (pediatrik) yang mempunyai kelainan bawaan.
2. Operasi paliatif yaitu melakukan operasi sementara untuk tujuan mempersiapkan operasi yang definitif/total koreksi karena operasi total belum dapat dikerjakan saat itu, misalnya shunt aortopulmonal pada TOF, Pulmonal atresia.
3. Repair yaitu operasi yang dikerjakan pada katub jantung yang mengalami insufisiensi.
4. Replacement katup yaitu operasi penggantian katup yang mengalami kerusakan.
5. Bypass koroner yaitu operasi yang dikerjakan untuk mengatasi stenosis/sumbatan arteri koroner.
6. Pemasangan inplant seperti kawat ‘pace maker’ permanen pada anak-anak dengan blok total atrioventrikel.
7. Transplantasi jantung yaitu mengganti jantung seseorang yang tidak mungkin diperbaiki lagi dengan jantung donor dari penderita yang meninggal karena sebab lain.
Diagnosis Penderita Penyakit Jantung

Untuk menetapkan suatu penyakit jantung sampai kepada suatu diagnosis maka diperlukan tindakan investigasi yang cukup. Mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik/jasmani, laboratorium, maka untuk jantung diperlukan pemeriksaan tambahan sebagai berikut :

1. Elektrokardiografi (EKG) yaitu penyadapan hantaran listrik dari jantung memakai alat elektrokardiografi.
2. Foto polos thorak PA dan kadang-kadang perlu foto oesophagogram untuk melihat pembesaran atrium kiri (foto lateral).
3. Fonokardiografi
4. Ekhocardiografi yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai gelombang pendek dan pantulan dari bermacam-macam lapisan di tangkap kembali. Pemeriksaan ini terdiri dari M. mode dan 2 Dimentional, sehingga terlihat gambaran rongga jantung dan pergerakan katup jantung. Selain itu sekarang ada lagi Dopler Echocardiografi dengan warna, dimana dari gambaran warna yang terlihat bisa dilihat shunt, kebocoran katup atau kolateral.
5. Nuklir kardiologi yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai isotop intra vena kemudian dengan “scanner” ditangkap pengumpulan isotop pada jantung.
Dapat dibagi :
1. Perfusi myocardial dengan memakai Talium 201.
2. Melihat daerah infark dengan memakai Technetium pyrophospate 99.
3. Blood pool scanning.
6. Kateterisasi jantung yaitu pemeriksaan jantung dengan memakai kateter yang dimasukan ke pembuluh darah dan didorong ke rongga jantung. Kateterisasi jantung kanan melalui vena femoralis, kateterisasi jantung kiri melalui arteri femoralis.
Pemeriksaan kateterisasi bertujuan :
a) Pemeriksaan tekanan dan saturasi oksigen rongga jantung, sehingga diketahui adanya peningkatan saturasi pada rongga jantung kanan akibat suatu shunt dan adanya hypoxamia pada jantung bagian kiri.
b) Angiografi untuk melihat rongga jantung atau pembuluh darah tertentu misalnya LV grafi, aortografi, angiografi koroner dll.
c) Pemeriksaan curah jantung pada keadaan tertentu.
7. Pemeriksaan enzym khusus, yaitu pemeriksaan enzym creati kinase dan fraksi CKMB untuk penentuan adanya infark pada keadaan “ unstable angin pectoris”.

Indikasi Operasi

1. “Left to rigth shunt” sama atau lebih dari 1,5 (aliran paru dibandingkan aliran ke sistemik  1,5).
2. “Cyanotic heart disease “.
3. Kelainan anatomi pembuluh darah besar dan koroner
4. Stenosis katub yang berat (symtomatik).
5. Regurgitasi katub yang berat (symtomatik)
6. Angina pektoris kelas III dan IV menurut Canadian Cardiology Society (CCS).
7. “Unstable angina pectoris”.
8. Aneurisma dinding ventrikel kiri akibat suatu infark miokardium akut.
9. Komplikasi akibat infark miokardium akut seperti VSD dan mitral regurgitasi yang berat karena ruptur otot papilaris.
10. “Arrhytmia” jantung misalnya WPW syndrom.
11. Endokarditis/infeksi katub jantung.
12. Tumor dalam rongga jantung yang menyebabkan obstruksi pada katub misalnya myxoma.
13. Trauma jantung dengan tamponade atau perdarahan.

Toleransi dan perkiraan resiko operasi

Toleransi terhadap operasi diperkirakan berdasarkan keadaan umum penderita yang biasanya ditentukan dengan klasifikasi fungsional dari New York Heart Association.

Klas I : Keluhan dirasakan bila bekerja sangat berat misalnya berlari.
Klas II : Keluhan dirasakan bila aktifitas cukup berat misalnya berjalan cepat.
Klas III : Keluhan dirasakan bila aktifitas lebih berat dari pekerjaan sehari-hari.
Klas IV : Keluhan sudah dirasakan pada aktifitas primer seperti untuk makan dan lain-lain sehingga penderita harus tetap berbaring ditempat tidur.
Waktu Terbaik (Timing) Untuk Operasi

Hal ini ditentukan berdasarkan resiko yang paling kecil. Misalnya umur yang tepat untuk melakukan total koreksi Tetralogi Fallot adalah pada umur 3 - 4 tahun.
Hal ini yaitu berdasarkan klasifikasi fungsional di mana operasi katub aorta karena suatu insufisiensi pada klas IV adalah lebih tinggi dibandingkan pada klas III. Hal ini adalah saat operasi dilakukan. Operasi pintas koroner misalnya bila dilakukan secara darurat resikonya 2 X lebih tinggi bila dilakukan elektif.

Pembagian Waktu dibagi atas :
1. Emergensi yaitu operasi yang sifatnya sangat perlu untuk menyelamatkan jiwa penderita. Untuk bypass coroner hal ini dilakukan kapan saja tergantung persiapan yang diperlukan.
2. Semi Elektif yaitu operasi yang bisa ditunda 2 - 3 hari atau untuk koroner dilakukan 3 X 24 jam setelah dilakukan kateterisasi jantung.
3. Elektif yaitu operasi yang direncanakan dengan matang atas indikasi tertentu, waktunya lebih dari 3 hari.

Pemilihan Tehnik Operasi
Pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah :
1. Apakah bisa dilakukan koreksi total
2. Kalau tidak bisa dilakukan koreksi total karena keterbatasan umur dan anatomi/kelainan yang didapat maka harus dipilih tehnik operasi untuk membantu operasi definitif misalnya “ shunt “ pada Tetralogi Fallot.
3. Apabila tidak bisa dilakukan koreksi total atau operasi definitif dengan resiko yang tinggi maka harus dipilih operasi untuk memperbaiki kwalitas hidup penderita tersebut misalnya “shunt” saja.
4. “Repair” katub lebih diutamakan/dianjurkan dari pada “replacement”/penggantian katub yang rusak.
5. Hasil-hasil dari kasus-kasus yang sudah dikerjakan orang lain.

Sayatan Operasi
1. Mid Sternotomi
Posisi klien terlentang, kepala ekstensi dan daerah vertebra antara skapula kanan dan kiri diganjal secukupnya sehingga insisi cukup leluasa. Harus diperhatikan dalam setiap posisi :
a) Seluruh daerah yang mengalami tekananan harus dilindungi dengan bantal atau karet busa misalnya kepala, daerah sakrum dan tumit.
Tidak boleh ada barang-barang logam yang keras, kontak langsung dengan penderita sehingga dapat terjadi dekubitus.
b) Pemasangan “lead EKG “, kateter urin, slang infus tidak boleh “kinking” dan melewati bawah kulit klien sehingga menimbulkan bekas.
c) Pemasangan “plate kauterisasi” pada otot pinggul dan hati-hati terhadap N. ischiadicus yang berjalan di daerah sakrum dan penderita harus dihubungkan dengan kabel yang ke bumi.
d) Posisi penderita harus difiksasi dengan stabil sehingga tidak mudah meluncur kalau meja operasi diputar atau tidak bergerak kalu dilakukan shock listrik.

Insisi kulit pada daerah median mulai dari atas suprasternal notch vertikal sampai 3 cm di bawah prosesus xyphoideus dengan pisau No. 24 bila klien dewasa, untuk bayi dan anak-anak dengan pisau No. 15.

Hemostasis dengan kauterisasi fasia sampai ligamen subra sternal dipotong, begitu juga prosesus xyphoideus ibelah dengan gunting kasar. Hemostasis dari vena yang melintang di atas prosesus xyphoideus harus baik.

Tulang sternum dibelah dengan gergaji listrik biasanya dari arah prosesus xypoideus ke atas dan saat itu paru-paru dikolapskan beberapa detik untuk menghindari terbukanya pleura.
Hemastasis pinggir sternum dengan kauter dan bila perlu gunakan bone wak.
Selanjutnya sisa-sisa kelenjar timus, didiseksi sampai vena inominata kelihatan bebas. Perikardium dibuka di tengah atau agak ke kanan apabila akan digunakan untuk “patch” dan dilebarkan sedikit kearah lateral dibagian proksimal dan diafragma. Perikardium difixir ke pinggir luka sehingga jantung agak terangkat.

Apabila prosedur utama telah selesai dan dinding dada akan ditutup maka harus diyakini benar bahwa hemostasis terhadap semua bekas insisi dan jahitan telah aman, perikardium kalau perlu tidak usah ditutup rapat, dipasang drain untuk mengeluarkan sisa darah, sternum diikat dengan kawat. Harus diingat saat menutup sternum apakah ada pengaruh terhadap tekanan darah terutama kalau tekanan darah turun. Jahitan kulit subkutikuler/kutikuler dengan dexon.

2. Torakotomi posterolateral
Sayatan ini biasanya untuk klien koarktasio aorta, PDA, shunt atau aneurisma aorta desenden. Posisi klien miring ke kanan dengan syarat-syarat seperti di atas.
Insisi kulit mulai dari garis aksila tengah ke posterior kira-kira 2 cm di bawah angulus inferior skapula dan prosesus spinosus vertebra. Kulit, subkutis, otot latisimus dorsi dipotong dengan hemostasis yang baik dengan kauter dan otot seratus anterios hanya dibelah dan dipotong pada insertionya.
Rongga toraks dibuka pada sela iga ke 4 dengan diseksi di bagian atas iga ke V untuk menghindari pembuluh darah. Setelah selesai rongga toraks ditutup dengan mengikat iga dengan jahitan absorbable dan selanjutnya otot diapraksimasi kembali seperti aslinya dan kulit dijahit subkutikuler.

3. Torakotomi Anterolateral
Posisi penderita terlentang dan bagian kiri diganjal sedikit sehingga lebih tinggi / miring 45 . Insisi pada sela iga ke V. Pendekatan ini untuk emergensi karena luka tusuk jantung dengan tamponade atau hanya perikardiotomi banding pulmonalis.

Persiapan penderita prabedah.
Setelah penderita diputuskan untuk operasi maka perlu dipersiapkan agar operasi dapat berlangsung sukses. Persiapan terdiri dari :

a) Persiapan mental
Menyiapkan klien secara mental siap menjalani operasi, menghilangkan kegelisahan menghadapi operasi. Hal ini ditempuh dengan cara wawancara dengan dokter bedah dan kardiolog tentang indikasi operasi, keuntungan operasi, komplikasi operasi dan resiko operasi. Diterangkan juga hal-hal yang akan dialami/akan dikerjakan di kamar operasi dan ICU dan alat yang akan dipasang, juga termasuk puasa, rasa sakit pada daerah operasi dan kapan drain dicabut.

b) Persiapan medikal
1. Obat-obatan
Semua obat-obatan antikoagulan harus dihentikan 1 minggu sebelum operasi (minimal 3 hari sebelum operasi).
Aspirin dan obat sejenis dihentikan 1 minggu sebelum operasi.
Digitalis dan diuretik dihentikan 1 hari sebelum operasi.
Antidiabetik diteruskan dan bila perlu dikonversi dengan insulin injeksi selama operasi.
Obat-obat jantung diteruskan sampai hari operasi.
Antibiotika hanya diberikan untuk propilaksis dan diberikan waktu induksi anestesi di kamar operasi, hanya diperlukan test kulit sebelum operasi apakah ada alergi.

2. Laboratorium 1 hari sebelum operasi antara lain :
Hematologi lengkap + hemostasis.
LFT.
Ureum, Creatinin.
Gula darah.
Urine lengkap.
Enzim CK dan CKMB untuk CABG.
Hb S Ag.
Gas darah.
Bila ada kelainan hemostasis atau faktor pembekuan harus diselidiki penyebabnya dan bila perlu operasi ditunda sampai ada kepastian bahwa kelainan tersebut tidak akan menyebabkan perdarahan pasca bedah.
3. Persiapan darah untuk operasi.
Permintaan darah ke PMI terdiri dari :
Packad cell : 750 cc
Frash Frozen Plasma : 1000 cc
Trombosit : 3 unit.
Permintaan darah ke PMI minimal 24 jam sebelum operasi elektif dan tentu tergantung persediaan darah yang ada di PMI saat itu.
4. Mencari infeksi fokal.
Biasanya dicari gigi berlobang atau tonsilitis kronis dan ini konsultasikan ke bagian THT dan gigi. Kelainan kulit seperti dermatitis dan furunkolosis/bisul harus diobati dan juga tidak dalam masa inkubasi/infeksi penyakit menular.
5. Fisioterapi dada.
Untuk melatih dan meningkatkan fungsi paru selama di ICU dan untuk mengajarkan bagaimana caranya mengeluarkan sputum setelah operasi untuk mencegah retensi sputum. Bila penderita diketahui menderita asthma dan penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) maka fisioterapi harus lebih intensif dikerjakan dan kadang-kadang spirometri juga membantu untuk melihat kelainan yang dihadapi. Bila perlu konsultasi ke dokter ahli paru untuk problem yang dihadapi.
6. Perawatan sebelum operasi.
Saat ini perawatan sebelum operasi dengan persiapan yang matang dari poliklinik maka perawatan sebelum operasi dapat diperpendek misalnya 1 - 2 hari sebelum operasi. Hal ini untuk mempersiapkan mental klien dan juga supaya tidak bosan di Rumah Sakit.

Perawatan pasca bedah
Perawatan pasca bedah dimulai sejak penderita masuk ke ICU. Untuk mengetahui problem pasca bedah dianjurkan untuk mengetahui problem penderita pra bedah sehingga dapat diantisipasi dengan baik.
Misalnya problem pernapasan, diabetes dan lain-lain.

Perawatan pasca bedah dibagi atas :

1. Perawatan di ICU.
a) Monitoring Hermodinamik.
Setelah penderita pindah di ICU maka timbang terima antara perawat yang mengantar ke ICU dan petugas/perawat ICU yang bertanggung jawab terhadap penderita tersebut : Dianjurkan setiap penderita satu perawat yang bertanggung jawab menanganinya selama 24 jam. Pemantauan yang dikerjakan harus secara sistematis dan mudah :
CVP, RAP, LAP,
Denyut jantung.
“Wedge presure” dan PAP.
Tekanan darah.
Curah jantung.
Obat-obat inotropik yang digunakan untuk support fungsi jantung dosisnya, rutenya dan lain-lain.
Alat lain yang dipakai untuk membantu seperti IABP, pach jantung dll.

b) EKG
Pemantauan EKG setiap saat harus dikerjakan dan dilihat irama dasar jantung dan adanya kelainan irama jantung seperti AF, VES, blok atrioventrikel dll. Rekording/pencatatan EKG lengkap minimal 1 kali dalam sehari dan tergantung dari problem yang dihadapi terutama bila ada perubahan irama dasar jantung yang membahayakan.

c) Sistem pernapasan
Biasanya penderita dari kamar operasi masih belum sadar dan malahan diberikan sedasi sebelum ditransper ke ICU. Sampai di ICU segera respirator dipasang dan dilihat :
Tube dan ukuran yang diapakai, melalui mulut / hidung.
Tidak volume dan minut volume, RR, Fi O , PEEP.
Dilihat aspirat yang keluar dari bronkhus / tube, apakah lendirnya normal, kehijauan, kental atau berbusa kemerahan sebagai tanda edema paru ; bila perlu dibuat kultur.

d) Sistem neurologis
Kesadaran dilihat dari/waktu penderita mulai bangun atau masih diberikan obat-obatan sedatif pelumpuh otot. Bila penderita mulai bangun maka disuruh menggerakkan ke 4 ektremitasnya.
e) Sistem ginjal
Dilihat produksi urine tiap jam dan perubahan warna yang terjadi akibat hemolisis dan lain-lain. Pemerikasaan ureum / kreatinin bila fasilitas memungkinkan harus dikerjakan.
f) Gula darah
Bila penderita adalah dabet maka kadar gula darah harus dikerjakan tiap 6 jam dan bila tinggi mungkin memerlukan infus insulin.
g) Laboratorium :
Setelah sampai di ICU perlu diperiksa :
HB, HT, trombosit.
ACT.
Analisa gas darah.
LFT / Albumin.
Ureum, kreatinin, gula darah.
Enzim CK dan CKMB untuk penderita bintas koroner.

h) Drain
Drain yang dipasang harus diketahui sehingga perdarahan dari mana mungkin bisa diketahui. Jumlah drain tiap satuan waktu biasanya tiap jam tetapi bila ada perdarahan maka observasi dikerjakan tiap ½ jam. Atau tiap ¼ jam. Perdarahan yang terjadi lebih dari 200 cc untuk penderita dewasa tiap jam dianggap sebagai perdarahan pasca bedah dan muingkin memerlukan retorakotomi untuk menghentikan perdarahan.
i) Foto thoraks
Pemerikasaan foto thoraks di ICU segera setelah sampai di ICU untuk melihat ke CVP, Kateter Swan Ganz. Perawatan pasca bedah di ICU harus disesuaikan dengan problem yang dihadapi seperti komplikasi yang dijumpai. Umumnya bila fungsi jantung normal, penyapihan terhadap respirator segera dimulai dan begitu juga ekstratubasi beberapa jam setelah pasca bedah.
j) Fisioterapi.
Fisioterapi harus segera mungkin dikerjakan termasuk penderita dengan ventilator. Bila sudah ekstubasi fisioterapi penting untuk mencegah retensi sputum (napas dalam, vibrilasi, postural drinase).

2. Perawatan setelah di ICU / di Ruangan.

Setelah klien keluar dari ICU maka pemantauan terhadap fungsi semua organ terus dilanjutkan. Biasanya pindah dari ICU adalah pada hari ke dua pasca bedah. Umumnya pemeriksaan hematologi rutin dan thoraks foto telah dikerjakan termasuk laboratorium LFT, Enzim CK dan CKMB.

Hari ke 3 lihat keadaan dan diperiksa antara lain :
Elektrolit thrombosis.
Ureum
Gula darah.
Thoraks foto
EKG 12 lead.

Hari ke 4 : lihat keadaan, pemeriksaan atas indikasi.

Hari ke 5 : Hematologi, LFT, Ureum dan bila perlu elektrolit, foto thoraks tegak.

Hari ke 6 - 10 pemerikasaan atas indikasi, misalnya thrombosis.

Obat - obatan : Biasanya diberikan analgetik karena rasa sakit daerah dada waktu batuk akan mengganggu pernapasan klien. Obat-obat lain seperti anti hipertensi, anti diabet, dan vitamin harus sudah dimulai, expectoransia, bronchodilator, juga diperlukan untuk mengeluarkan sputum yang banyak sampai hari ke 7 atau sampai klien pulang.

Perawatan luka, dapat tertutup atau terbuka. Bila ada tanda-tanda infeksi seperti kemerahan dan bengkak pada luka apalagi dengan tanda-tanda panas, lekositosis, maka luka harus dibuka jahitannya sehuingga nanah yang ada bisa bebas keluar. Kadang-kadang perlu di kompres dengan antiseptik supaya nanah cepat kering. Bila luka sembuh dengan baik jahitan sudah dapat di buka pada hari ke delapan atau sembilan pasca bedah. Untuk klien yang gemuk, diabet kadang-kadang jahitan dipertahankan lebih lama untuk mencegah luka terbuka.

Fisioterapi, setelah klien exstubasi maka fisioterapi harus segera dikerjakan untuk mencegah retensi sputum yang akan menyebabkan problem pernapasan. Mobilisasi di ruangan mulai dengan duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, berjalan disekitar tempat tidur, berjalan ke kamar mandi, dan keluar dari ruangan dengan dibimbing oleh fisioterapis atau oleh perawat.

Photobucket